5 Macam Perjanjian Perundingan Indonesia dan Belanda

Meskipun pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia berhasil diproklamasikan, Belanda masih menginfasi wilayah Indonesia dengan ingin mendirikan negara boneka. Sang Presiden tetap tidak tinggal diam dengan Belanda yang masih menginfasi wilayah Indonsia.

Presiden dan Menteri nya terus mencari solusi agar wilayah Indonesia menjadi berkedaulat atas Belanda, mau itu jalur perang atau diplomatik dan akhir nya wakil Indonesia di PBB meminta solusi agar Belanda meninggalkan Indonesia, makanya dari itu pihak PBB memutuskan menggelar perjanjian perundingan antara Indonesia dengan Belanda sebagai berikut:

Perjanjian Linggarjati

Perundingan Linggarjati dilakukan pada tanggal 10-15 November 1946 antara Indonesia dan Belanda. Perundingan ini dilakukan di Linggarjati, sebuah kota kecil 21 km sebelah selatan Cirebon. Pada perundingan Linggarjati tersebut pihak Belanda diwakili oleh tim Komisi Jenderal yang dipimpin oleh Wim Schermerhon dengan anggota H.J. van Mook dan Lord Killearn dari pihak Inggris bertindak sebagai moderator. Sedangkan pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir. Perundingan Linggarjati menghasilkan 17 pasal. Hasil perundingan Linggarjati menimbulkan reaksi di berbagai daerah, ada yg pro dan ada yang kontra.

Rakyat Bali termasuk dalam kalangan yang kontra terhadap hasil perundingan Linggarjati karena Bali tidak dimasukkan ke dalam wilayah RI. Hal ini berarti Bali akan dikuasai kembali oleh Belanda. Oleh karena itu, rakyat Bali mengangkat senjata di bawah pimpinan Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. Peperangan itu disebut Pertempuran Margarana dan mereka mengobarkan Perang Puputan yang artinya perang habis-habisan. Dalam perang tersebut, I Gusti Ngurah Rai gugur sebagai pahlawan bangsa pada tanggal 20 November 1946.

Di Sulawesi Selatan, Westerling anggota KNIL melakukanb pembunuhan keji terhadap sekitar 40.000 rakyat tanpa dosa. Dalam peristiwa itu Robert Wolter Monginsidi dan Nona Emmy Saelan juga gugur.

Di Manado juga terjadi pertempuran antara TKR pimpinan Letnan Kolonel Taulu yang dibantu oleh Residen Lapian dan tentara KNIL. Kedua tokoh itu ditipu oleh Belanda dalam suatu perundingan yang selanjutnya ditangkap dan dipenjarakan. Akibatnya, Manado dan Maluku mutlak dikuasai Belanda.

Belanda terus berusaha memecah belah bangsa Indonesia dengan cara mendirikan negara-negara boneka sebagai negara bagian dari RIS. Usaha ini ditempuh melalui berbagai konferensi antara lain konferensi Malino (15 Juli 1946), konferensi di Pangkalpinang (10 Oktober 1946) dan konferensi di Denpasar (18-24 Desember 1946). Dari berbagai konferensi tersebut, van Mook dapat mendirikan berbagai negara boneka guna mempersembit wilayah RI. Negara-negara tersebut yaitu, negara Indonesia timur (NIT), negara Pasundan, negara Madura, negara Jawa Barat, negara Sumatra Timur dan negara Jawa Timur.

Perundingan Renville

Perundingan Renville berlangsung dari tanggal 8 Desember 1947-17 Januari 1948. Delegrasi Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir Syarifuddin, Mr. Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik len, Mr. Moh. Roem, Haji Agus Salim, Mr. Nasrun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri atas Abdul Kadir Wijoyoatmojo, Pangeran Kartanagara, Jhr. van Vredenburgh, Dr. Soumokil dan Zulkarnain.

Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semuanya berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang pro-Belanda. Dengan demikian, Belanda tetap ingin melakukan politik adu domba agar mudah menguasai Indonesia.

Perjanjian Renville sangat merugikan pihak Indonesia, tetapi atas desakan KTN, Indonesia harus menyetujuhinya. Perjanjian tersebut ditandatangani kedua belah pihak tanggal 17 Januari 1948.

Penandatanganan perjanjian Renville menimbulkan kerugian dan akibat yang buruk bagi pemerinta Indonesia. Kerugian yang diderita Indonesia adalah sebagai berikut:
  • Wilayah Republik Indonesia menjadi semakin sempit dan terkurung oleh daerah-daerah kekuasaan Belanda.
  • Daerah-daerah gerilya TNI yang berada di daerah kantong harus ditinggalkan sehingga terjadilah hijrah besar-besaran TNI dari Jawa Timir-Barat ke pusat pemerintahan RI di Yogyakarta.
  • Timbulnya reaksi keras dari kalangan para pemimpin Republik Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin yang dianggap telah menjual negara kepada Belanda.
  • Perekonomian Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda.
Perundingan Roem-Royen

Setelah adanya resolusi Dewan Keamanan PBB pada tanggal 23 Maret 1949, PBB memrintahkan UNCI agar membantu pelaksanaan resolusi tersebut. UNCI kemudian menemui para pemimpin RI dan Belanda yang akhirnya mereka berhasil dibawa meja perundingan. Delegasi Indonesia diketuai oleh Mr. Moh. Roem, sedangkan pihak Belanda diketuai oleh Dr. J.H van Royen. Pada tanggal 17 April 1949, dimulailah perundingan pendahuluan di Jakarta yang dipimpin oleh Marle Cochran, wakil Amerika Serikat dalam UNCI. Dalam perundingan selanjutnya delegasi Indonesia adalah Drs. Moh. Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Akhirnya, pada tanggal 7 Mei 1949 dicapailah persetujuan yang disebut Roem-Royen Statement. Pernyataan pemerintah RI dibacakan oleh ketua delegasi Indonesia Mr. Moh. Roem yang berisi, antara lain bahwa pemerintah RI akan:
  • Mengeluarkan perintah penghentian perang gerilya.
  • Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang bertujuan mempercepat penyerahan kedaulatan yang lengkap dari tidak bersyarat kepada negara RIS.
selanjutnya, delegasi Belanda membacakan pernyataannya yang dilakukan oleh Dr. J.H van Royen yang berisi, antara lain bahwa Belanda akan:
  • Menyetujui Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.
  • Membebaskan para pemimpin Republik Indonesia dan tahanan politik yang ditawan sejak tanggal 19 Desember 1948.
  • Menyetujui Republik Indonesia menjadi bagian dari RIS.
  • Mengadakan KMB secepatnya di Den Haag setelah pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.
Dengan dicapainya perjanjian Roem-Royen, mulailah diadakan tindakan pelaksanaannya yang meliputi kegiatan sebagai berikut:
  • Seluruh tentara Belanda harus segera ditarik dari Yogyakarta.
  • Setelah kota Yogyakarta dikosongkan dari tentara Belanda, pada tanggal 29 Juni, selanjutnya TNI mulai menggantikannya memasuki kota. Keluarnya tentara Belanda dan masuknya TNI tersebut diawasi oleh UNCI. Panglima Besar Jenderal Sudirman dengan ditandu beserta para pejuang lainnya tiba di Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.
Konferensi Antar-Indonesia

Dalam perundingan Roem-Royen, bangsa Indonesia menyatakan kesediannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Sebagai persiapan menghadapi KMB, diadakan Konferensi Antar-Indonesia yang bertujuan mengadakan pembicaraan antara Badan Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg/BFO) dan Republik Indonesia guna mendapatkan kesepakatan yang mendasar untuk menghadapi KMB. BFO ialah negara-negara boneka buatan Belanda di Republik Indonesia. Namun, mereka menetang Agresi Militer Belanda II atas kota Yogyakarta.

Konferensi Antar-Indonesia dilangsungkan dalam dua tahap. Tahap pertama berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 yang dipimpin oleh Wakil Presiden Moh. Hatta. Tujuan konferensi ini merupakan untuk membahas berbagai hal yang ada kaitannya dengan pembentukan negara federal sementara. Keputusan penting yang diambil, antara lain sebagai berikut:
  • Nama negara federal ialah Republik Indonesia Serikat (RIS).
  • RIS akan dikepalai oleh presiden yang dipilih negara-negara bagian (RI dan BFO).
  • Dalam konstitusi sementara harus ada ketentuan tentang negara-negara bagian yang dihimpun dalam RIS.
  • RIS akan menerima kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun dari Kerajaan Belanda.
  • Angkatan Perang RIS ialan angkatan perang nasional.
  • Pertahanan negara ialah semata-mata hak pemerintah RIS.
Sidang kedua Konferensi Antar-Indonesia diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 1949. Persetujuan yang dicapai, antara lain bendera RIS ialah sang Merah Putih, lagu kebangsaanya adalah Indonesia Raya, dan bahasa resminya ialah Bahasa Indonesia. Presiden RIS dipilih oleh para wakil dari RI dan BFO. Pengisian keanggotaannya MPRS, diserahkan kepada kebijaksanaan negara-negara bagian yang jumlahnya 16 negara. Kedua delegasi juga setuju untuk membentuk Panitia Persiapan Nasional yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaannya KMB.

Konferensi Meja Bundar dan Pengakuan Kedaulatan

Dengan berhasilnya Konferensi Antar-Indonesia, bangsa Indonesia berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri. Bangsa Indonesia kini bersiap menghadapi KMB. Pada tanggal 4 Agustus 1949 telah diangkat delegasi Republik Indonesia untuk menghadiri KMB yang terdiri atas Drs. Moh Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof. Dr. Mr Supomo, Dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamijoyo, Ir. Juanda, Dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Sumitro Joyohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T.B Simatupang dam Mr. Sumardi. Sedangkan delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak.

KMB diselenggarakan di Den Haag, Belanda, dari tanggal 23 Agustus-02 November 1949. KMB ialah konferensi segitiga antara delegasi dari negeri Belanda, RI dan BFO di bawah pengawasan komisi PBB.

Oleh karena antara RI dan BFO telah terdapat kesamaan pendirian, dalam setiap persidangan KMB pihak RI hanya menghadapi delegasi Belanda. Hal ini memperlancar jalannya perudingan sehingga pada tanggal 29 Oktober 1949 telah ditanda-tangani Piagam Persetujuan Konsitusi RIS. Pada tanggal 2 November 1949 perundingan ditutup dengan keputusan antara lain sebagai berikut:
  • Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
  • Penyelesaian soal Irian Barat ditangguhkan sampai tahun berikutnya.
  • RIS sebagai negara yang berdaulat penuh bekerja sama dengan Belanda dalam suatu perserikatan yang dipimpin oleh ratu Belanda atas dasar sukarela dengan kedudukan dan hak yang sama.
  • RIS mengembalika semua hak milih Belanda, memberikan hak konsesi dan izin baru bagi perusahaan-perusahaan.
  • Semua utang bekas Hindia Belanda harus dibayar oleh RIS.
  • Dalam bidang militer akan dibentuk Angkatan Perang Republik Indonesia seringan dengan TNI sebagai intinya.
Pada tanggal 6-14 Desember 1949, Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengadakan sidang untuk membahas hasil-hasil KMB. Selanjutnya, sidang berhasil menyepakati Undang-Undang Dasar RIS sebagai Konstitusi RIS.

Pada tanggal 16 Desember 1949 , Ir. Soekarna dipilih sebagai presiden RIS dan Drs. Moh Hatta sebagai wakil presiden RIS. dan pada tanggal 17 Desember 1949 di Keraton Yogyakarta, kedua tokojh tersebut dilantik sebagai presiden pertama RIS.

Sejak tanggal 27 Desember 1949 pemerintah Belanda secara resmi telah mengakui kedaulatan Indonesia. Dengan demikian, berakhir pula masa penjajahan Belanda di Indonesia dan mulailah berdiri tegak negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat penuh dengan menggunakan UUD RIS. Pada tanggal 28 Desember 1949 pusat pemerintah RIS yang berada di Yogyakarta dipindahkan ke Jakarta.
Jeger
Jeger
Suka Berbagi, Suka Belajar, Juga Suka Kamu, Iya Kamu!
Link copied to clipboard.