Permasalahan Batas Negara Indonesia dengan Negara Lain
7 Permasalahan Yang Melibatkan Indonesia Dengan Negara Lain Berkaitan Masalah Perbatasan disertai Penyelesainnya - Perbatasan merupakan wilayah pertemuan bagi dua atau lebih negara sebagai batas kedaulatan masing-masing negara. Dimana letak geografis perbatasan ini sering menimbulkan singgungan baik dalam aspek sosial-kultural, politik dan ekonomi antara kedua negara yang bersangkutan. Didunia internasional, permasalahan perbatasan sering menimbulkan sensitifitas dan konflik bagi hubungan negara-negara didunia.
Perbatasan mengikat bersama-sama wilayah dan orang-orang yang hidup dibawah satu pemerintahan yang berdaulat, hukum, dan setidaknya tidak hanya terintegerasi secara administratif dan ekonomi tetapi juga ide terhadap negara itu sendiri. Jadi negara dalam hal ini merupakan instrumen utama yang bertanggung jawab terhadap perbatasan yang mengikat kedaulatannya.
1. Batas Perairan Indonesia-Malaysia di Selat Malaka
Pada tahun 1969 Malaysia mengumumkan bahwa lebar wilayah perairannya menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar seseuai ketetapan dalam Konvensi Jenewa 1958. Namun sebelumnya Indonesia telah lebih dulu menetapkan batas-batas wilayahnya sejauh 12 mil laut dari garis dasar termasuk Selat Malaka. Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua negara mengenai batas laut wilayah mereka di Selat Malaka yang kurang dari 24 mil laut. Penyelesaiannya Pada tahun 1970 tepatnya bulan Februari-Maret dilaksanakan perundingan mengenai hal tersebut, sehingga menghasilkan perjanjian tentang batas-batas Wilayah Perairan kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik kordinat ditetapkan berdasarkan garis pangkal masing-masing negara.
2. Batas Perairan Indonesia-Filipina mengenai Pulau Miangas
Pulau Miangas yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982). Penyelesaiannya Dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filiphina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928.
3. Malaysia Mengklaim Blok Ambalat Milik Indonesia
Pada tahun 2009, Malaysia mengklaim blok Ambalat dengan memberi izin untuk eksplorasi pertambangan kepada PT. Petronas dan PT. Shell. Hal ini menjadi permasalahan serius ketika patroli militer Indonesia bersengketa dengan patrol militer Malaysia. Hal ini sempat menimbulkan hubungan diplomatik yang memanas antara Indonesia dan Malaysia.
Penyelesaian
Permasalahan Ambalat ini tidak hanya menyangkut persoalan kedaulatan, namun juga persoalan bisnis dan ekonomi, apabila dari pihak yang bersengketa, Malaysia dan Indonesia tidak berinisiatif untuk mengajak MNC seperti Shell, Unocal, dan ENI dalam perundingan, maka perundingan politik ditingkat elit tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak ada salahnya Indonesia memulai inisiatif untuk mengundang Shell ke meja perundingan, karena sepanjang pemberitaan sengketa Ambalat ini, upaya diplomasi dan perundingan hanya melibatkan pemerintah. Sudah saatnya Shell dilibatkan dalam perundingan tersebut, bersama MNC lain yang berkepentingan disitu yakni Unocal dan ENI. Indonesia memiliki bukti-bukti kuat kehadiran Shell di blok Ambalat di tahun 1999 yang bisa dijadikan bukti klaim bahwa Indonesia telah lama mengelola perairan ini jauh sebelum Petronas Malaysia mengadakan kontrak kerjasama dengan Shel.
4. Nelayan Malaysia Melanggar Perbatasan Negara Indonesia
Pada tahun 2011, Polisi Indonesia menangkap beberapa nelayan Malaysia yang melanggar perbatasan negara. Pada tanggal 18 Mei 2011, Indonesia dan Malaysia melakukan rapat yang membahas tentang penyelesaian pelanggaran perbatasan ini dan untuk mencari solusi terhadap masalah konflik perbatasan yang terjadi antara kedua negara ini
5. Perebutan Hak Kepemilikan Pulau Sipadan Dan Ligitan (Indonesia-Malaysia)
Pada tahun 2002 Pihak Malaysia secara sepihak mengklaim Pulau Sipadan dan Ligitan masuk ke wilayahnya, hal inipun segera mendapat protes dari Indonesia. Sengketa kedua negara ini harus diselesaikan melalui Mahkamah Internasional pada 2002. Hasilnya 16 hakim menyatakan Sipadan dan Ligitan milik Malaysia sedangkan hanya satu hakim saja yang mengatakan pulau tersebut milik Indonesia
6. Konflik Komunal di Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Pada Oktober 2013, Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di dekat perbatasan Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah Utara, jalan tersebut telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan juga menggunakan zona bebas sejauh 50 m. Padahal berdasarkan nota kesepahaman kedua negara pada tahun 2005, zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia maupun Timor Leste. Selain itu, pembangunan jalan oleh Timor Leste tersebut merusak tiang-tiang pilar perbatasan, merusak pintu gudang genset pos penjagaan perbatasan milik Indonesia, serta merusak sembilan kuburan orang-orang tua warga Nelu, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara. Pembangunan jalan baru tersebut kemudian memicu terjadinya konflik antara warga Nelu, Indonesia dengan warga Leolbatan, Timor Leste pada Senin, 14 Oktober 2013. Mereka saling lempar batu dan kayu. Aksi ini semakin besar karena melibatkan anggota polisi perbatasan Timor Leste (Cipol) yang turut serta dalam aksi saling lempar batu dan kayu tersebut.
Penyelesaian
Indonesia melakukan diplomasi dalam rangka menyelesaikan delimitasi terhadap segmen-segmen yang masih belum disepakati. Berdasarkan perjanjian perbatasan darat 2012, kedua negara telah menyepakati 907 koordinat titik-titik batas darat atau sekitar 96% dari panjang total garis batas. Serta juga juga pengenalan pengaturan di kawasan perbatasan yang memungkinkan warga Timor Leste dan warga Indonesia yang berada di sisi perbatasan masing-masing untuk bisa melanjutkan hubungan sosial dan kekeluargaannya yang selama ini telah terjalin di antara mereka
7. Helikopter Milik Malaysia Mendarat Di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara
Minggu 28 Juni 2015, helikopter milik Malaysia mendarat di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara. Peristiwa yang terjadi sekira pukul 08.45 Wita itu membuat Komandan Pos Aji Kuning, Sebatik, Kapten Infanteri Surisfiyanto, memberi peringatan keras terhadap heli tersebut. Meski demikian, heli itu masih belum sempat mematikan mesin dan belum menurunkan penumpang. Sekira lima menit kemudian, heli milik warga sipil tersebut langsung kembali terbang.
Penyelesaian
Kementerian Luar Negeri RI telah memanggil Wakil Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Roseli Abdul, guna meminta keterangan terkait pelanggaran batas wilayah yang dilakukan helikopter sipil Malaysia. Perusahaan penerbangan Sabah Aerospace yang merupakan pemilik heli tersebut telah meminta maaf ke Pemerintah Indonesia melalui TNI AU di KJRI Kota Kinabalu.“Mereka juga menjelaskan bahwa kejadian tersebut sebenarnya merupakan sebuah kesalahan dari pilot dalam melihat helipad untuk mendarat”
Saat ini masih terdapat banyak sekali masalah perbatasan baik itu perbatasan darat maupun laut juga masalah klaim kedaulatan yang masih menjadi sengketa antara satu negara dengan negara lainnya.
Tags:
Geografi